Sabtu, 17 Januari 2009

PEMBELAJARAN MENULIS PUISI DENGAN METODE MICHAEL RIFFATERRE

Oleh: Salam

(Dosen FBS UNM)

Abstrak: Kompe­tensi menulis puisi dimaksudkan agar siswa dapat mengguna­kan bahasa dengan tujuan untuk memahami, mengembangkan, dan meng­komunikasikan gagasan dan informasi, serta un­tuk berintegrasi de­ngan orang lain. Puisi dapat mendorong siswa untuk bermain dengan kata‑kata, menafsirkan dunianya dengan suatu cara baru yang khas, dan menyadari bahwa imajinasinya dapat menjadi konkret bila ia dapat memilih kata‑kata dengan cermat untuk ditulis dalam puisi. Di samping itu, siswa juga diharapkan dapat me­ma­hami dan berpartisipasi dalam kegiatan kreatif di lingkungannya agar dapat menghargai karya seni, budaya, intelektual, serta dapat menerapkan nilai‑nilai luhur meningkatkan kematangan pribadi menuju masya­rakat beradab. Menulis puisi dengan metode Michael Riffaterre merupakan metode yang memung­kinkan siswa dapat mengalami suatu proses pembelajaran yang terarah dan menyenangkan. Dalam pelak­sa­naan pembelajaran, siswa akan dipandu mulai dari tahap penggalian ide, penentuan ide, penulisan, sampai pada tahap penyajian.

Kata-kata kunci: Pembelajaran puisi, Apresiasi sastra, Metode Michael Riffaterre

Tujuan pembelajaran sastra adalah agar siswa mempunyai penga­laman berekspresi sastra. Pengalaman berekspresi sastra ini di­lakukan seba­gai kegiatan mengembangkan daya imaji, rasa, dan daya cipta. Pengalaman ekspresi sastra ini akan lebih tepat bila diintegra­sikan dengan keterampilan menulis. Misalnya menulis puisi.

Kegiatan menulis puisi adalah kegiatan yang bersifat produktif‑kreatif. Kegiatan ini dilaksanakan melalui suatu proses yang dinamakan proses kreatif. Rampan (2001:11) menyatakan bahwa proses kreatif mengalir di dalam suasana kreatif yang memungkinkan lahirnya karya‑karya yang secara bahasa indah dan dari segi pernikiran cukup mendalam. Sejalan dengan pendapat di atas, Mulyati (2002:28) menyatakan bahwa proses kreatif berkembang jika terdapat empat unsur terkait. Unsur‑unsur tersebut adalah (1) pengenalan pribadi dan pengeta­huan, (2) dorongan internal dan eksternal siswa, (3) kebermaknaan belajar, dan (4) hasil yang bernilai bagi orang lainl. Dengan terpenuhinya keempat unsur kreatif tersebut, kegiatan pembelajaran menulis puisi akan mencapai hasil yang maksimal.

Dalam kegiatan menulis puisi, siswa perlu mendapat suatu arahan se­hingga memudahkannya dalam proses pembelajaran. Sukristanto (2002:554) me­ngemukakan bahwa kemampuan menulis puisi dapat dicapai dengan bimbingan yang sistematis serta latihan yang intensif. Siswa hendaknya diarahkan dan di­bimbing tahap demi tahap tentang apa yang harus dilakukannya. Proses pelaksa­naan menulis puisi sebaiknya memperhatikan tahap‑tahap kreativitas yang dike­mukakan oleh Rhodes (Endraswara, 2002:218) yaitu tahap preparasi, inkubasi, iluminasi, dan. verifikasi. Pada tahap preparasi, dilaksanakan kegiatan pengum­pul­an data atau informasi yang akan dijadikan bahan penulisan. Tahap inkubasi dilakukan dalam usaha untuk mengendapkan atau mematangkan ide‑ide yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya. Tahap iluminasi merupakan tahap pelahiran ide, gagasan, atau pengalaman ke dalam bentuk puisi. Tahap yang ter­akhir adalah verifikasi, yaitu kegiatan menilai puisi hasil karya sendiri.

Selain melalui suatu proses yang saling menunjang, pembelajaran menulis puisi juga sebaiknya mempertimbangkan. karakteristik siswa. Kesesuaian karak­teristik siswa tersebut berkaitan dengan perkembangan jiwa, kemampuan bahasa, dan lingkungan siswa. Ketiga aspek tersebut harus dijadikan pertimbangan. guru dalam pelaksanaan pembelajaran menulis puisi. Pertimbangan tersebut bertujuan agar kegiatan pembelajaran menjadi sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga. akan membuatnya merasa senang dalam belajar. Dengan demikian, rasa senang itu akan membuat siswa memperoleh hasil yang optimal dalam belajar.

Menulis puisi memberikan banyak manfaat bagi siswa. Melalui puisi, sis­wa dapat mengekspresikan diri dan melatih kepekaan dan kekayaan bahasanya. Karena kebermanfaatan tersebut membuat kegiatan menulis puisi perlu diajarkan kepada siswa. Pere (Norton, 1987:329) mengidentifikasikan enam alasan penting­nya pembelajaran menulis puisi. Keenam alasan tersebut adalah (1) menulis puisi memberikan kegembiraan yang menyenangkan dan murni, (2) menulis puisi dapat memberikan pengetahuan tentang konsep dunia sekitar siswa, (3) menulis puisi mendorong siswa untuk menghargai bahasa dan mengembangkan kosakata yang tepat dan bervariasi, (4) menulis puisi dapat membantu siswa mengidentifikasi orang‑orang dan situasi tertentu, (5) menulis puisi dapat membantu siswa mengekspresikan suasana hati dan membantu siswa memahami perasaan mereka sendiri, dan (6) menulis puisi dapat membuka dan menumbuhkan kepekaan serta wawasan siswa terhadap lingkungan.

MENULIS KARYA SASTRA

Bernard (1973:42) menyatakan bahwa pada hakikatnya menulis karya sastra merupakan suatu proses mengekspresikan diri berdasarkan hasil pengamat­an dan pengalaman hidup setiap penulis. Jadi pada dasarnya, kegiatan menulis puisi itu bersifat eksperimental. Oleh karena itu, yang amat dipentingkan dalam menulis puisi (sastra pada umumnya) adalah “pengalaman” menulis karya sastra itu sendiri.

Penulisan karya sastra senantiasa melalui kegiatan proses belajar mengajar dengan beberapa tahap, yakni; (1) tahap teoretik, (2) tahap observasi kehidupan, (3) tahap mencari nilai puitik dan dramatik dalam kehidupan, (4) tahap latihan ima­jinasi, (5) tahap pengolaan bahan, dan (6) tahap pertanggungjawaban.

Tahap teoretik, adalah tahap belajar tentang teori-teori sastra (apa itu sastra, bagaimana prinsip-prinsip sastra, estetika sastra, elemen-elemen sastra se­perti; struk­tur, karakteristik, tema, dan lain-lain), proses kreatif, dan teori-teori penulisan sastra itu sendiri.

Tahap observasi kehidupan, adalah tahap melihat secara langsung dan men­catat kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari seperti “apa adanya” tan­pa pe­nilaian atau penghakiman serta tanpa emosi. Yang dipentingkan adalah dapat mere­kam keadaan lingkungan hidup sekitarnya dengan cermat sebagaimana ada­nya.

Tahap mencari ide yang puitik dan dramatik, Pada tahap ini sangat dipen­ting­kan bagaimana melihat kehidupan sebagai rangkaian peristiwa atau adegan leng­kap dengan setting, para tokoh, atmosfir, konflik, klimaks, resolusi, dan seba­gainya. Pada tahap inilah kepekaan dan kejelian siswa dilatih untuk dapat me­nang­kap “potensi kesastraan ” yang bernilai puitik dan dramatik dalam kehidupan sehari-hari, agar dapat diangkat dalam kehidupan fiksi.

Tahap latihan imajinasi, tahap ini merupakan kekuatan inti/penting dalam proses penulisan karya sastra, karena tahap ini melatih kemampuan siswa meng­olah bahan dari kehidupan nyata dan menuangkannya ke dalam karya fiksi. Dalam tahap ini, para siswa dilatih untuk dapat berpikir secara asosiatif, integralistik, dan kreatif dalam mengembangkan daya imajinasinya.

Tahap pengolahan bahan, adalah tahap proses penuangan ide yang berhasil direkam dari kehidupan nyata ke dalam bentuk karya sastra. Wujud dan kualitas dari karya sastra yang dihasilkan tidak saja ditentukan oleh daya imajinasi sese­orang, melainkan juga oleh daya nalar dalam meruntut ide, gagasan, ajaran hidup dengan baik.

Tahap pertanggungjawaban, sebagai suatu hasil dari proses pembelajaran, maka karya sastra yang dihasilkan oleh para siswa seharusnya dapat dipertang­gung­ja­wab­kan di hadapan teman sendiri. Oleh karena itu, pada tahap ini, karya sastra yang dihasilkan akan mendapat tanggapan atau penilaian serta masukan di hadapan teman sendiri.

Hakikat Puisi

Dalam buku Riffaterre yang berjudul Semiotics of Poetry (1978: 15), ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah; (1) puisi itu adalah ekspresi tidak langsung, menya­takan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik (retro-aktif), (3) matriks, model, dan varian-varian, dan (4) hipogram.

Puisi Sebagai Ekspresi Tidak Langsung

Riffaterre (1978:1) mengemukakan bahwa puisi dari waktu ke waktu se­nantiasa berubah. Perubahan itu disebabkan oleh perbedaan konsep estetik dan evolusi selera. Namun ada satu hal yang tetap dan tidak mengalami perubahan, yak­ni puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung. Ketaklangsungan ekspresi itu terjadi, karena adanya penggantian, penyimpangan, dan penciptaan arti oleh penulisnya sendiri.

Penggantian Arti

Terjadinya penggantian arti disebabkan oleh penggunaan bahasa khiasan pada umumnya, yaitu perbandingan (simile), personifikasi, metapora, meto­nimi, dan sinekdok. Misalnya, dalam sajak Subagio Sastrawardojo berikut ter­dapat beberapa penggunaan metafora.

DEWA TELAH MATI

Tak ada dewa di rawa-rawa ini

Hanya gagak yang mengakak malam hari

Dan siang mengitari bangkai

Pertama yang terbunuh dekat kuil

Dewa telah mati di tepi-tepi ini

Hanya ular yang mendesir dekat sumber

Lalu minum dari mulut

Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri

Bumi ini perempuan jalang

Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa

Ke rawa-rawa mesum ini

Dan membunuhnya pagi hari

Dewa mengganti Tuhan, rawa-rawa mengganti tempat yang tidak baik, gagak adalah metapora untuk orang jahat, ular adalah mitos penjelmaan setan yang senang mengganggu anak cucu Adam dan Hawa. Jadi, dewa telah mati ber­arti orang tidak percaya lagi pada Tuhan, dunia ini hanya dipenuhi oleh orang jahat yang penuh napsu serakah.

Penyimpangan Arti

Terjadinya penyimpangan arti disebabkan oleh munculnya ambiguitas, kon­tradiksi, dan nonsense. Ambiguitas dapat terjadi, baik pada kata-kata, frasa, ka­limat maupun pada wacana, karena munculnya penafsiran yang berbeda-beda me­nurut konteksnya. Misalnya pada sajak di atas, kata rawa atau tepi-tepi dapat ditafsirkan sebagai tempat yang penuh dengan kemaksiatan. Sedangkan kontra­diksi muncul karena adanya penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis. Ironi di­gunakan untuk me­nyatakan sesuatu dengan maksud mengejek atau mengolok. Mi­­salnya, “Dewa telah mati” adalah ironi terhadap hati manusia yang sudah tidak percaya lagi pada Tuhan. Demikian pula “Pertapa yang terbunuh dekat kuil” ada­lah ironi dari manusia yang baik pun dapat terjerumus ke dalam kehidupan ke­maksiatan dan mati dekat kuil (tempat suci). Adapun nonsense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai kamus), namun mempunyai makna “gaib” se­suai dengan konteks. Nonsense banyak ditemukan dalam puisi-puisi bernuansa mantra seperti dalam puisi Sutardji “Amuk” berikut ini.

AMUK

hei kau dengan mantraku

Kau dengar kucing memanggilMu

izuakalizu

Mapakazaba itasatali

Tutulita

Papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu

Tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco

….

Kuzangga zegezegeze aahh…!

Nama kalian bebas

Carilah Tuhan semaumu

Demikian pula dalam puisinya yang lain, “Tragedi Winka Sihka”. Winka dan sihka adalah nonsense, namun sesuai konvensi dalam sastra kata-kata itu dapat bermakna kebalikan dari “Kawin dan Kasih”. Kawin berarti persatuan (perte­muan) sedangkan winka berarti perpisahan atau perceraian. Kasih berarti berarti cinta dan saling menyayangi, sedangkan sihka berarti dendam atau kebencian.

Penciptaan Arti

Penciptaan arti terjadi karena pengorganisasian ruang teks, di antaranya; en­jambemen, tipografi, dan homolugue. Dalam teks biasa (bukan teks sastra), ru­ang teks itu tidak ada artinya, namun dalam karya sastra khususnya puisi, ruang teks dapat menciptakan/menimbulkan makna.

Enjambemen adalah peloncatan baris dalam sajak. Peloncatan baris itu me­nyebabkan terjadinya peralihan perhatian pada kata akhir atau kata yang “dilon­catkan” ke baris berikutnya. Peloncatan kata tersebut menimbulkan intensitas arti atau makna liris. Misalnya dalam penggalan puisi Chairil Anwar berikut ini.

Doa

….

Tuhanku, aku kehilangan bentuk

Remuk

……

Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasa tidak mengandung arti, namun dalam sajak, akan menimbulkan arti. Sebagaimana dapat kita lihat pada puisi Sutardji “Tragedi Winka Sihka” di atas. Huruf-huruf pada kata kawin dan kasih ditata, dipenggal-penggal, dan dibalik sehingga membentuk lukisan jalan yang zigzak dan berliku-liku, sebagaimana liku-liku kehidupan manusia yang penuh tantangan dan cobaan.

Homolugue adalah persejajaran bentuk atau baris. Bentuk yang sejajar itu akan menimbulkan makna yang sama. Misalnya tampak dalam pantun berikut.

Berakit-rakit ke hulu

Berenang-renang ke tepian

Bersakit-sakit dahulu

Bersenang-senang kemudian

Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Untuk memberikan makna lebih lanjut terhadap karya sastra (puisi), maka puisi tersebut sebaiknya dibacakan berdasarkan tata bahasa sebagai sistem tanda (tingkat pertama dan kedua).

Pembacaan Heuristik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa nor­matif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini menghasil­kan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat per­tama (first order semiotics), namun belum memberikan makna sastra yang sig­nifikan (significance).

Karya sastra terutama puisi ditulis secara sugestif, dan hubungan antara ba­risnya bersifat implisit. Hal tersebut terjadi karena puisi itu pada dasarnya ha­nya mengekspresikan inti gagasan. Oleh karena itu, hal-hal yang dianggap tidak perlu, tidaklah dimunculkan secara eksplisit. Ada awalan atau akhiran yang dihi­langkan sehingga yang ada hanyalah kata intinya (dasarnya) saja, ada susunan kalimat yang dibalik, sehingga menimbulkan ketidakwajaran, namun ketidakwa­jaran tersebut te­tap dibaca secara wajar. Dengan kata lain dalam pembacaan heuristik, bahasa sastra haruslah “dinaturalisasikan” menjadi bahasa biasa (tata bahasa normatif). Dalam proses penaturalisasian ini, kata-kata yang tidak ber­awalan atau berakhiran diberi awalan dan akhiran, bahkan kalau perlu dapat di­tambahkan atau mengganti kata-kata yang bersinonim untuk memperjelas hu­bungan makna antarkata atau antar­baitnya. Susunan kata yang terbalik atau ter­penggal-penggal diubah kembali sesuai tata bahasa normatif. Misalnya dapat dilihat dalam puisi Chairil Anwar berikut ini.

SEBUAH KAMAR

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini

Pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam

Mau lebih banyak tahu.

“Sudah lima anak bernyawa disini,

Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,

Keramaian penjara sepi selalu,

Bapakku sendiri terbaring jemu

Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!

Aku minta adik lagi pada

ibu dan bapakku, karena mereka berada

di luar hitungan: kamar begini;

3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

Sajak di atas dapat dinaturalisasikan sebagai berikut.

Melalui sebuah jen­dela, sinar matahari masuk menyinari kamar itu. Kamar yang telah ditempati melahirkan lima orang anak, salah satunya si”aku”. Dalam kamar itu, Ibuku tertidur setelah menangis tersedu-sedu. Meskipun keadaan ramai di sekelilingnya, namun kamar itu sepi seperti penjara. Ayah si “aku” pun hanya bisa terbaring jemu menatap orang yang tersalib di batu. Sekeliling dunia (kamar itu) bu­nuh diri. Si aku bunuh diri dengan meminta adik pada ibu bapaknya, karena kamar itu terlalu sempit untuk dihuni tujuh orang apalagi jika ditambah dengan seorang anak.

Makna yang muncul pada pembacaan heuristik di atas barulah berdasarkan konvensi tata bahasa normatif, belum memberikan makna sastra yang sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra tersebut haruslah dibaca ulang (retroaktif) dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastra.

Pembacaan Hermeneutik (Retroaktif)

Untuk memberikan makna sastra pada puisi tersebut haruslah didasarkan pada konvensi sastra bahwa puisi itu adalah ekspresi tidak langsung yang penuh dengan kiasan-kiasan.

Sebuah kamar merupakan kiasan dari kehidupan keluarga. Di sini tergam­bar kehidupan keluarga (si aku) yang penuh penderitaan-kamarnya sempit 3 x 4 m dihuni oleh tujuh orang-hal ini menggambarkan kemiskinan keluarga itu. Bahkan digambarkan kamar itu bagaikan penjara yang penuh dengan kesepian di tengah-tengah keramaian. Si Ibu hanya dapat menangis saja, sementara si ayah hanya da­pat berdoa tanpa dapat berbuat apa-apa untuk dapat mengubah keadaan hidup mereka. Ironisnya keadaan semacam itu akan diperparah dengan akan bertam­bahnya jumlah keluarga –barangkali si ibu sedang hamil– itu berarti sama saja dengan bunuh diri.

Konvensi sastra bersifat universal. Meskipun dalam puisi itu yang diung­kapkan adalah tentang kehidupan keluarga si aku, namun “kamar” itu sebenarnya merupakan simbol kehidupan suatu bangsa yang melarat dengan jumlah penduduk besar dan semakin bertambah terus.

Matriks, Model, dan Varian-varian

Secara teoretis puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi mo­del dan ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam menganalisis karya sastra (pu­isi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian ka­limat atau kalimat sederhana.

Matriks dalam puisi “Dewa Telah Mati” adalah orang sudah tidak percaya pa­da Tuhan dengan melakukan berbagai kejahatan dan kemaksiatan. Matriks ini ditransformasikan menjadi model “dewa telah mati”, “burung gagak”, dan “ular” be­rupa kiasan atau metafora. Model-model itu ditransformasikan juga menjadi varian-varian berupa “masalah” yang diuraikan menjadi bait 1, 2, dan 3.

Varian pada bait pertama adalah bahwa orang yang sudah tidak percaya pada Tuhan akan senantiasa melakukan kemaksiatan dan kejahatan, termasuk ke­pada orang yang baik (pertapa) bahkan di tempat-tempat yang suci pun (kuil) mereka akan berbuat kejahatan. Sedangkan varian pada bait kedua adalah meng­gambarkan dunia yang penuh dengan manusia-manusia jahat (ular), pelacur akan menjual harga dirinya demi harta. Kegagahan dan kecantikan yang dimiliki adalah simbol ke­banggaan dalam melacurkan diri. Demikian pula varian pada bait ketiga menggam­barkan dunia semata-mata sebagai tempat pelampiasan hawa napsu. Seorang pertapa yang sok “suci” pun melakukan kejahatan pada malam hari, namun pada pagi harinya, dia mati akibat kemaksiatan yang dilakukannya.

Hipogram: Hubungan Intertekstual

Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang penuh pada karya sastra, maka sebaiknya karya sastra tersebut disejajarkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogram atau latar belakang penciptaannya (Bernard, 1978: 66).

Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respon terhadap karya sastra yang lain. Respon itu dapat berupa perlawanan atau penerusan tradisi dari karya sastra sebelumnya. Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra yang dapat berupa ke­adaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah, atau alam dan kehidupan yang dialami sastrawan.

MENULIS PUISI DENGAN TEKNIK AKROSTIK

Melihat kenyataan pembelajaran menulis puisi yang belum memenuhi harapan tersebut, perlu ditempuh upaya‑upaya untuk mengefektifkan kegiatan pembelajaran menulis puisi di sekolah khususnya di SMA. Dalam hal ini, diperlukan suatu teknik yang dapat membantu siswa mengatasi permasalahan dalam menulis puisi. Teknik pembelajaran tersebut adalah teknik yang memiliki karakteristik (1) mengarahkan siswa dalam menemukan ide dari sesuatu yang dikenal dan berada di sekitamya, (2) membantu siswa menemukan kata‑kata pertama dalam menulis puisinya, (3) membantu siswa memperkaya perbendaha­raan kosakatanya, dan (4) membimbing siswa melakukan tahap‑tahap menulis puisi. Teknik pembelajaran dengan karakteristik seperti yang dikemukakan di atas adalah teknik menulis puisi akrostik.

Teknik menulis puisi akrostik (TMPA) merupakan teknik yang memung­kinkan siswa dapat mengalami suatu proses pembelajaran yang terarah dan menyenangkan. Dalam pelaksanaan pembelajaran, siswa akan dipandu mulai dari tahap penggalian ide, penentuan ide, penulisan, sampai pada tahap penyajian. TMPA ini juga membantu siswa dalam menulis puisi, karena puisi yang dibuat menggunakan pola huruf‑huruf awal nama diri atau suatu hal. Dengan adanya pola ini, proses penulisan puisi menjadi lebih terarah.

Kegiatan menulis puisi dengan teknik akrostik, dapat dilaksanakan dengan mengikuti tahap‑tahap sebagai berikut: (1) tahap preparasi dilaksanakan kegiatan pengumpulan data atau infonasi yang akan dijadikan bahan penulisan, (2) tahap inkubasi dilakukan dalam usaha untuk mengendapkan atau mematangkan ide‑ide yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya, (3) tahap aluminasi merupakan tahap pelahiran ide, gagasan, atau pengalaman ke dalam bentuk puisi, dan (4) tahap verifikasi yaitu kegiatan menilai puisi hasil karya sendiri. Puisi adalah pengungkapan pikiran, perasaan, dan pengalaman dengan susunan kata yang kaya imajinasi, dengan penyingkapan pendirian atau keyakinan penulisnya, pemaham­an akan dipertajam sehingga dapat melihat pengalaman diri sendiri atau dengan empati yang tulus dapat berbagi pengalaman atau impian dengan orang lain. Untuk dapat mengungkapkan sesuatu dalam bentuk puisi, diperlukan suatu latihan yang berulang dalam menulis pulsi. Kegiatan berpuisi bukanlah kegiatan yang hanya bersifat alamiah, melainkan juga kegiatan budaya atau pembiasaan. Lebih tepatnya kegiatan mencipta puisi bukan hanya kegiatan yang bersifat alamiah dan naluriah melainkan merupakan hasil proses belajar. Selain itu kemampuan men­cipta puisi juga sangat dipengarahi oleh keterampilan untuk mewujudkan penga­laman dalam bentuk tulisan.

Untuk menciptakan kegiatan menulis kreatif puisi yang memungkinkan siswa dapat memotivasi dan menggerakkan potensi kreativitasnya, diperlukan suatu teknik pembelajaran yang mendukung. Teknik tersebut dapat membantu siswa mengarahkan dan membimbing pada proses menulis pulsi. Teknik yang dapat digunakan dalam pembelaj'aran menulis puisi bagi pemula yang mengalami kendala, seperti disebutkan di atas adalah TMPA.

TMPA merupakan suatu teknik yang dapat mendorong dan memotivasi siswa sebagai penulis pernula untuk dapat menulis sebuah puisi. Teknik ini juga dapat menciptakan suatu kondisi pembelajaran yang dapat merangsang siswa sehingga ia dapat menuliskan pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam bentuk puisi dengan pola berisi susunan kata‑kata yang seluruh huruf awal atau huruf akhir tiap barisnya merupakan sebuah kata atau nama diri. Penerapan TMPA dalam pelaksanaan pembelajaran menulis puisi dilakukan dengan beberapa tahap. Pada setiap tahap, guru akan membimbing dan mengarahkan siswa dalam menulis puisi. Tahap‑tahap tersebut adalah (1) penggalian ide, (2) penentuan ide, (3) penulisan, dan (4) penyajian.

Pada tahap penggalian ide, siswa dimotivasi dengan suatu permainan. Permainan yang dipilih adalah mengisi teka‑teki silang. Dengan permainan ini siswa dikenalkan dengan kemungkinan‑kemungkinan penggunaan kata sesuai huruf yang terdapat di dalam kata tersebut. Selain itu, kata yang dipilih pun dapat mewakill pengenalan terhadap lambang, simbol, dan kata kias. Setelah kegiatan ini, siswa diajak untuk berpikir dan mendeskripsikan diri sendiri. Siswa membuat daftar dengan kata‑kata atau frase yang jelas. Daftar tersebut berisi hal‑hal yang disukai dan tidak disukainya, impian dan rencana‑rencananya, karakter atau sifat‑sifatnya, ciri‑ciri fisiknya, benda‑benda atau hal‑hal yang berkesan, dan kehidupan keluarganya. Pada bagian ini siswa dimotivasi untuk mengungkapkan hal‑hal yang istemewa dari dini dan lingkungannya.

Pada tahap penentuan ide, siswa diajak untuk menemukan bagian‑bagian yang menank. Pada tahap ini siswa memperhatikan dan memilih bagian yang menarik dari daftar yang dibuat tentang dirinya. Siswa menentukan satu ide yang akan diwujudkannya dalam puisi. Dengan ditemukannya ide yang bersumber dari dirinya sendiri, maka siswa akan termotivasi untuk menulis puisi. Pada tahap ini juga siswa dilaksanakan kegiatan mengumpulkan kosakata yang mungkin akan digunakan dalam puisi akrostiknya. Kegiatan ini dilaksanakan setelah siswa dikenalkan dengan model-model puisi akrostik yang mungkin akan dijadikan bentuk puisi yang dipilihnya.

Pada tahap penulisan, siswa mulai menuliskan apa yang dirasakan dan dipikirannya ke dalam puisi dengan bantuan pola akrostik. Pola tersebut dapat berbentuk daftar nama diri, benda, atau keadaan. Dengan pola tersebut, siswa lebih mudah menyelesaikan puisinya. Pemilihan bentuk puisi akrostik dapat dijadikan bahan untuk diskusi sehingga siswa mengetahui alasan dia memilih bentuk puisi akrostik. Kegiatan selanjutnya adalah perevisian. Dengan bimbingan guru, siswa dapat mempertimbangkan, mengganti dan menambah kata‑kata dalam puisinya.

Pada tahap penyajian, siswa membacakan puisi yang telah mengalami

perbaikan di depan kelas. Kemudian, siswa memberi ilustrasi yang sesuai dengan isi puisinya. Puisi yang telah diberi ilustrasi, ditempelkan di mading kelas. Guru dapat memberikan komentar di bawah puisi siswa. Dengan menerapkan langkah‑langkah perencanaan, (2) melaksanakan tindakan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Dengan demikian, penelitian tindakan merupakan suatu proses yang memiliki siklus yang bersifat spiral, mulai dari perencanaan, pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan, penemuan fakta‑fakta untuk melakukan evaluasi atau memodifikasi perencanaan penelitian.


DAFTAR RUJUKAN

Achadiyati, I.P.S.R. 2000. Strategi Pembelajaran Menulis Puisi Formulasi di Kelas V SD Abepura Joyapura. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM

Ahmadi, Muksin. 1990. Strategi Belaiar Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: YA3.

Ardiana, Leo lndra, dkk. 2002. Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia: Menulis Kreatif Jakarta: Direktorat SUP, Dijen Dikdasmen, Depdiknas.

Chang, Jason. 1999. Acrostic Poetry. (Http: H www.Emory.edu/English/classes/handbook/acrostic. html diakses I I September 2003).

Depdikbud. 1993. Garis‑Garis Besar Program Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Jakarta: Depdiknas.

Ellis, Arthur, dkk. 1989. Elementry language Arts Instruction. New Jersey: Englewood Cliffs.

Endraswara, Suwardl. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra. Yogyakarta: Kota Kembang.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Hasanuddin, W.S. 2002. Membaca dan Menilai, sajak, Bandung: Angkasa.

Jabrohim, Chairil Anwar, dan Suminto A. Sayuti. 2001. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Janeczko, Paul.B. 2000. Teaching 10 Fabulous Forms of Poetry. New York: A Paramount Company.

Kazemek, Francis E. & Pat Rigg. 1996. Finriching Our Lives: Poetry Lessonsfor Adult Lileracy Zachers and Tutors. New York: Reading Association.

Mulyati, Yeti. 2002. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesiadi kelas Tinggi. Jakarta: Universitas Terbuka.

Norton. 1987. 7hrough The Eyes of A Child An Introduction to Children's Literature. USA: Merril Publishing.

Percy, Benard. 198 1. The Power of Reading Writing. USA: Printice‑Hall International.

Pradopo, Rachinad Djoko.2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rahanto, B. 1988. Melode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Sarumpact, Rins K. Toha. 2002. Apresiasi Puisi Remaja. Jakarta: Gramedia.

Tashin. 2001. Guru Kita dan Pembelajaran Puisi. Majalah Horison, Edisi Maret 2001:18.

Tompkins, Gail E. dan Kenneth Hoskisson. 199 1. Language Art: Content Area Teaching Srafegies. New York: Mac Millan Publishing Company,

Troyka, Linn Quitman. 1987. Simon & Schusler Handbookfor Writers. USA: PrInfice‑Hall International.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.