(Dosen FBS UNM)
Kata-kata kunci: Pembelajaran puisi, Apresiasi sastra, Metode Michael Riffaterre
Tujuan pembelajaran sastra adalah agar siswa mempunyai pengalaman berekspresi sastra. Pengalaman berekspresi sastra ini dilakukan sebagai kegiatan mengembangkan daya imaji, rasa, dan daya cipta. Pengalaman ekspresi sastra ini akan lebih tepat bila diintegrasikan dengan keterampilan menulis. Misalnya menulis puisi.
Kegiatan menulis puisi adalah kegiatan yang bersifat produktif‑kreatif. Kegiatan ini dilaksanakan melalui suatu proses yang dinamakan proses kreatif. Rampan (2001:11) menyatakan bahwa proses kreatif mengalir di dalam suasana kreatif yang memungkinkan lahirnya karya‑karya yang secara bahasa indah dan dari segi pernikiran cukup mendalam. Sejalan dengan pendapat di atas, Mulyati (2002:28) menyatakan bahwa proses kreatif berkembang jika terdapat empat unsur terkait. Unsur‑unsur tersebut adalah (1) pengenalan pribadi dan pengetahuan, (2) dorongan internal dan eksternal siswa, (3) kebermaknaan belajar, dan (4) hasil yang bernilai bagi orang lainl. Dengan terpenuhinya keempat unsur kreatif tersebut, kegiatan pembelajaran menulis puisi akan mencapai hasil yang maksimal.
Dalam kegiatan menulis puisi, siswa perlu mendapat suatu arahan sehingga memudahkannya dalam proses pembelajaran. Sukristanto (2002:554) mengemukakan bahwa kemampuan menulis puisi dapat dicapai dengan bimbingan yang sistematis serta latihan yang intensif. Siswa hendaknya diarahkan dan dibimbing tahap demi tahap tentang apa yang harus dilakukannya. Proses pelaksanaan menulis puisi sebaiknya memperhatikan tahap‑tahap kreativitas yang dikemukakan oleh Rhodes (Endraswara, 2002:218) yaitu tahap preparasi, inkubasi, iluminasi, dan. verifikasi. Pada tahap preparasi, dilaksanakan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang akan dijadikan bahan penulisan. Tahap inkubasi dilakukan dalam usaha untuk mengendapkan atau mematangkan ide‑ide yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya. Tahap iluminasi merupakan tahap pelahiran ide, gagasan, atau pengalaman ke dalam bentuk puisi. Tahap yang terakhir adalah verifikasi, yaitu kegiatan menilai puisi hasil karya sendiri.
Selain melalui suatu proses yang saling menunjang, pembelajaran menulis puisi juga sebaiknya mempertimbangkan. karakteristik siswa. Kesesuaian karakteristik siswa tersebut berkaitan dengan perkembangan jiwa, kemampuan bahasa, dan lingkungan siswa. Ketiga aspek tersebut harus dijadikan pertimbangan. guru dalam pelaksanaan pembelajaran menulis puisi. Pertimbangan tersebut bertujuan agar kegiatan pembelajaran menjadi sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga. akan membuatnya merasa senang dalam belajar. Dengan demikian, rasa senang itu akan membuat siswa memperoleh hasil yang optimal dalam belajar.
Menulis puisi memberikan banyak manfaat bagi siswa. Melalui puisi, siswa dapat mengekspresikan diri dan melatih kepekaan dan kekayaan bahasanya. Karena kebermanfaatan tersebut membuat kegiatan menulis puisi perlu diajarkan kepada siswa. Pere (Norton, 1987:329) mengidentifikasikan enam alasan pentingnya pembelajaran menulis puisi. Keenam alasan tersebut adalah (1) menulis puisi memberikan kegembiraan yang menyenangkan dan murni, (2) menulis puisi dapat memberikan pengetahuan tentang konsep dunia sekitar siswa, (3) menulis puisi mendorong siswa untuk menghargai bahasa dan mengembangkan kosakata yang tepat dan bervariasi, (4) menulis puisi dapat membantu siswa mengidentifikasi orang‑orang dan situasi tertentu, (5) menulis puisi dapat membantu siswa mengekspresikan suasana hati dan membantu siswa memahami perasaan mereka sendiri, dan (6) menulis puisi dapat membuka dan menumbuhkan kepekaan serta wawasan siswa terhadap lingkungan.
MENULIS KARYA SASTRA
Bernard (1973:42) menyatakan bahwa pada hakikatnya menulis karya sastra merupakan suatu proses mengekspresikan diri berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman hidup setiap penulis. Jadi pada dasarnya, kegiatan menulis puisi itu bersifat eksperimental. Oleh karena itu, yang amat dipentingkan dalam menulis puisi (sastra pada umumnya) adalah “pengalaman” menulis karya sastra itu sendiri.
Penulisan karya sastra senantiasa melalui kegiatan proses belajar mengajar dengan beberapa tahap, yakni; (1) tahap teoretik, (2) tahap observasi kehidupan, (3) tahap mencari nilai puitik dan dramatik dalam kehidupan, (4) tahap latihan imajinasi, (5) tahap pengolaan bahan, dan (6) tahap pertanggungjawaban.
Tahap teoretik, adalah tahap belajar tentang teori-teori sastra (apa itu sastra, bagaimana prinsip-prinsip sastra, estetika sastra, elemen-elemen sastra seperti; struktur, karakteristik, tema, dan lain-lain), proses kreatif, dan teori-teori penulisan sastra itu sendiri.
Tahap observasi kehidupan, adalah tahap melihat secara langsung dan mencatat kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari seperti “apa adanya” tanpa penilaian atau penghakiman serta tanpa emosi. Yang dipentingkan adalah dapat merekam keadaan lingkungan hidup sekitarnya dengan cermat sebagaimana adanya.
Tahap mencari ide yang puitik dan dramatik, Pada tahap ini sangat dipentingkan bagaimana melihat kehidupan sebagai rangkaian peristiwa atau adegan lengkap dengan setting, para tokoh, atmosfir, konflik, klimaks, resolusi, dan sebagainya. Pada tahap inilah kepekaan dan kejelian siswa dilatih untuk dapat menangkap “potensi kesastraan ” yang bernilai puitik dan dramatik dalam kehidupan sehari-hari, agar dapat diangkat dalam kehidupan fiksi.
Tahap latihan imajinasi, tahap ini merupakan kekuatan inti/penting dalam proses penulisan karya sastra, karena tahap ini melatih kemampuan siswa mengolah bahan dari kehidupan nyata dan menuangkannya ke dalam karya fiksi. Dalam tahap ini, para siswa dilatih untuk dapat berpikir secara asosiatif, integralistik, dan kreatif dalam mengembangkan daya imajinasinya.
Tahap pengolahan bahan, adalah tahap proses penuangan ide yang berhasil direkam dari kehidupan nyata ke dalam bentuk karya sastra. Wujud dan kualitas dari karya sastra yang dihasilkan tidak saja ditentukan oleh daya imajinasi seseorang, melainkan juga oleh daya nalar dalam meruntut ide, gagasan, ajaran hidup dengan baik.
Tahap pertanggungjawaban, sebagai suatu hasil dari proses pembelajaran, maka karya sastra yang dihasilkan oleh para siswa seharusnya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan teman sendiri. Oleh karena itu, pada tahap ini, karya sastra yang dihasilkan akan mendapat tanggapan atau penilaian serta masukan di hadapan teman sendiri.
Hakikat Puisi
Dalam buku Riffaterre yang berjudul Semiotics of Poetry (1978: 15), ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah; (1) puisi itu adalah ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik (retro-aktif), (3) matriks, model, dan varian-varian, dan (4) hipogram.
Puisi Sebagai Ekspresi Tidak Langsung
Riffaterre (1978:1) mengemukakan bahwa puisi dari waktu ke waktu senantiasa berubah. Perubahan itu disebabkan oleh perbedaan konsep estetik dan evolusi selera. Namun ada satu hal yang tetap dan tidak mengalami perubahan, yakni puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung. Ketaklangsungan ekspresi itu terjadi, karena adanya penggantian, penyimpangan, dan penciptaan arti oleh penulisnya sendiri.
Penggantian Arti
Terjadinya penggantian arti disebabkan oleh penggunaan bahasa khiasan pada umumnya, yaitu perbandingan (simile), personifikasi, metapora, metonimi, dan sinekdok. Misalnya, dalam sajak Subagio Sastrawardojo berikut terdapat beberapa penggunaan metafora.
DEWA TELAH MATI
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang mengitari bangkai
Pertama yang terbunuh dekat kuil
Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut
Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri
Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Dan membunuhnya pagi hari
Dewa mengganti Tuhan, rawa-rawa mengganti tempat yang tidak baik, gagak adalah metapora untuk orang jahat, ular adalah mitos penjelmaan setan yang senang mengganggu anak cucu Adam dan Hawa. Jadi, dewa telah mati berarti orang tidak percaya lagi pada Tuhan, dunia ini hanya dipenuhi oleh orang jahat yang penuh napsu serakah.
Penyimpangan Arti
Terjadinya penyimpangan arti disebabkan oleh munculnya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas dapat terjadi, baik pada kata-kata, frasa, kalimat maupun pada wacana, karena munculnya penafsiran yang berbeda-beda menurut konteksnya. Misalnya pada sajak di atas, kata rawa atau tepi-tepi dapat ditafsirkan sebagai tempat yang penuh dengan kemaksiatan. Sedangkan kontradiksi muncul karena adanya penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis. Ironi digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan maksud mengejek atau mengolok. Misalnya, “Dewa telah mati” adalah ironi terhadap hati manusia yang sudah tidak percaya lagi pada Tuhan. Demikian pula “Pertapa yang terbunuh dekat kuil” adalah ironi dari manusia yang baik pun dapat terjerumus ke dalam kehidupan kemaksiatan dan mati dekat kuil (tempat suci). Adapun nonsense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai kamus), namun mempunyai makna “gaib” sesuai dengan konteks. Nonsense banyak ditemukan dalam puisi-puisi bernuansa mantra seperti dalam puisi Sutardji “Amuk” berikut ini.
AMUK
hei kau dengan mantraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izuakalizu
Mapakazaba itasatali
Tutulita
Papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
Tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
….
Kuzangga zegezegeze aahh…!
Nama kalian bebas
Carilah Tuhan semaumu
Demikian pula dalam puisinya yang lain, “Tragedi Winka Sihka”. Winka dan sihka adalah nonsense, namun sesuai konvensi dalam sastra kata-kata itu dapat bermakna kebalikan dari “Kawin dan Kasih”. Kawin berarti persatuan (pertemuan) sedangkan winka berarti perpisahan atau perceraian. Kasih berarti berarti cinta dan saling menyayangi, sedangkan sihka berarti dendam atau kebencian.
Penciptaan Arti
Penciptaan arti terjadi karena pengorganisasian ruang teks, di antaranya; enjambemen, tipografi, dan homolugue. Dalam teks biasa (bukan teks sastra), ruang teks itu tidak ada artinya, namun dalam karya sastra khususnya puisi, ruang teks dapat menciptakan/menimbulkan makna.
Enjambemen adalah peloncatan baris dalam sajak. Peloncatan baris itu menyebabkan terjadinya peralihan perhatian pada kata akhir atau kata yang “diloncatkan” ke baris berikutnya. Peloncatan kata tersebut menimbulkan intensitas arti atau makna liris. Misalnya dalam penggalan puisi Chairil Anwar berikut ini.
Doa
….
Tuhanku, aku kehilangan bentuk
Remuk
……
Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasa tidak mengandung arti, namun dalam sajak, akan menimbulkan arti. Sebagaimana dapat kita lihat pada puisi Sutardji “Tragedi Winka Sihka” di atas. Huruf-huruf pada kata kawin dan kasih ditata, dipenggal-penggal, dan dibalik sehingga membentuk lukisan jalan yang zigzak dan berliku-liku, sebagaimana liku-liku kehidupan manusia yang penuh tantangan dan cobaan.
Homolugue adalah persejajaran bentuk atau baris. Bentuk yang sejajar itu akan menimbulkan makna yang sama. Misalnya tampak dalam pantun berikut.
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Untuk memberikan makna lebih lanjut terhadap karya sastra (puisi), maka puisi tersebut sebaiknya dibacakan berdasarkan tata bahasa sebagai sistem tanda (tingkat pertama dan kedua).
Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa normatif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics), namun belum memberikan makna sastra yang signifikan (significance).
Karya sastra terutama puisi ditulis secara sugestif, dan hubungan antara barisnya bersifat implisit. Hal tersebut terjadi karena puisi itu pada dasarnya hanya mengekspresikan inti gagasan. Oleh karena itu, hal-hal yang dianggap tidak perlu, tidaklah dimunculkan secara eksplisit.
SEBUAH KAMAR
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
Pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
Mau lebih banyak tahu.
“Sudah
Aku salah satu!”
Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
ibu dan bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: kamar begini;
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!
Sajak di atas dapat dinaturalisasikan sebagai berikut.
Melalui sebuah jendela, sinar matahari masuk menyinari kamar itu. Kamar yang telah ditempati melahirkan
Makna yang muncul pada pembacaan heuristik di atas barulah berdasarkan konvensi tata bahasa normatif, belum memberikan makna sastra yang sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra tersebut haruslah dibaca ulang (retroaktif) dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastra.
Pembacaan Hermeneutik (Retroaktif)
Untuk memberikan makna sastra pada puisi tersebut haruslah didasarkan pada konvensi sastra bahwa puisi itu adalah ekspresi tidak langsung yang penuh dengan kiasan-kiasan.
Sebuah kamar merupakan kiasan dari kehidupan keluarga. Di sini tergambar kehidupan keluarga (si aku) yang penuh penderitaan-kamarnya sempit 3 x 4 m dihuni oleh tujuh orang-hal ini menggambarkan kemiskinan keluarga itu. Bahkan digambarkan kamar itu bagaikan penjara yang penuh dengan kesepian di tengah-tengah keramaian. Si Ibu hanya dapat menangis saja, sementara si ayah hanya dapat berdoa tanpa dapat berbuat apa-apa untuk dapat mengubah keadaan hidup mereka. Ironisnya keadaan semacam itu akan diperparah dengan akan bertambahnya jumlah keluarga –barangkali si ibu sedang hamil– itu berarti sama saja dengan bunuh diri.
Konvensi sastra bersifat universal. Meskipun dalam puisi itu yang diungkapkan adalah tentang kehidupan keluarga si aku, namun “kamar” itu sebenarnya merupakan simbol kehidupan suatu bangsa yang melarat dengan jumlah penduduk besar dan semakin bertambah terus.
Matriks, Model, dan Varian-varian
Secara teoretis puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi model dan ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam menganalisis karya sastra (puisi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana.
Matriks dalam puisi “Dewa Telah Mati” adalah orang sudah tidak percaya pada Tuhan dengan melakukan berbagai kejahatan dan kemaksiatan. Matriks ini ditransformasikan menjadi model “dewa telah mati”, “burung gagak”, dan “ular” berupa kiasan atau metafora. Model-model itu ditransformasikan juga menjadi varian-varian berupa “masalah” yang diuraikan menjadi bait 1, 2, dan 3.
Varian pada bait pertama adalah bahwa orang yang sudah tidak percaya pada Tuhan akan senantiasa melakukan kemaksiatan dan kejahatan, termasuk kepada orang yang baik (pertapa) bahkan di tempat-tempat yang suci pun (kuil) mereka akan berbuat kejahatan. Sedangkan varian pada bait kedua adalah menggambarkan dunia yang penuh dengan manusia-manusia jahat (ular), pelacur akan menjual harga dirinya demi harta. Kegagahan dan kecantikan yang dimiliki adalah simbol kebanggaan dalam melacurkan diri. Demikian pula varian pada bait ketiga menggambarkan dunia semata-mata sebagai tempat pelampiasan hawa napsu. Seorang pertapa yang sok “suci” pun melakukan kejahatan pada malam hari, namun pada pagi harinya, dia mati akibat kemaksiatan yang dilakukannya.
Hipogram: Hubungan Intertekstual
Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang penuh pada karya sastra, maka sebaiknya karya sastra tersebut disejajarkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogram atau latar belakang penciptaannya (Bernard, 1978: 66).
Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respon terhadap karya sastra yang lain. Respon itu dapat berupa perlawanan atau penerusan tradisi dari karya sastra sebelumnya. Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra yang dapat berupa keadaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah, atau alam dan kehidupan yang dialami sastrawan.
MENULIS PUISI DENGAN TEKNIK AKROSTIK
Melihat kenyataan pembelajaran menulis puisi yang belum memenuhi harapan tersebut, perlu ditempuh upaya‑upaya untuk mengefektifkan kegiatan pembelajaran menulis puisi di sekolah khususnya di SMA. Dalam hal ini, diperlukan suatu teknik yang dapat membantu siswa mengatasi permasalahan dalam menulis puisi. Teknik pembelajaran tersebut adalah teknik yang memiliki karakteristik (1) mengarahkan siswa dalam menemukan ide dari sesuatu yang dikenal dan berada di sekitamya, (2) membantu siswa menemukan kata‑kata pertama dalam menulis puisinya, (3) membantu siswa memperkaya perbendaharaan kosakatanya, dan (4) membimbing siswa melakukan tahap‑tahap menulis puisi. Teknik pembelajaran dengan karakteristik seperti yang dikemukakan di atas adalah teknik menulis puisi akrostik.
Teknik menulis puisi akrostik (TMPA) merupakan teknik yang memungkinkan siswa dapat mengalami suatu proses pembelajaran yang terarah dan menyenangkan. Dalam pelaksanaan pembelajaran, siswa akan dipandu mulai dari tahap penggalian ide, penentuan ide, penulisan, sampai pada tahap penyajian. TMPA ini juga membantu siswa dalam menulis puisi, karena puisi yang dibuat menggunakan pola huruf‑huruf awal nama diri atau suatu hal. Dengan adanya pola ini, proses penulisan puisi menjadi lebih terarah.
Kegiatan menulis puisi dengan teknik akrostik, dapat dilaksanakan dengan mengikuti tahap‑tahap sebagai berikut: (1) tahap preparasi dilaksanakan kegiatan pengumpulan data atau infonasi yang akan dijadikan bahan penulisan, (2) tahap inkubasi dilakukan dalam usaha untuk mengendapkan atau mematangkan ide‑ide yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya, (3) tahap aluminasi merupakan tahap pelahiran ide, gagasan, atau pengalaman ke dalam bentuk puisi, dan (4) tahap verifikasi yaitu kegiatan menilai puisi hasil karya sendiri. Puisi adalah pengungkapan pikiran, perasaan, dan pengalaman dengan susunan kata yang kaya imajinasi, dengan penyingkapan pendirian atau keyakinan penulisnya, pemahaman akan dipertajam sehingga dapat melihat pengalaman diri sendiri atau dengan empati yang tulus dapat berbagi pengalaman atau impian dengan orang lain. Untuk dapat mengungkapkan sesuatu dalam bentuk puisi, diperlukan suatu latihan yang berulang dalam menulis pulsi. Kegiatan berpuisi bukanlah kegiatan yang hanya bersifat alamiah, melainkan juga kegiatan budaya atau pembiasaan. Lebih tepatnya kegiatan mencipta puisi bukan hanya kegiatan yang bersifat alamiah dan naluriah melainkan merupakan hasil proses belajar. Selain itu kemampuan mencipta puisi juga sangat dipengarahi oleh keterampilan untuk mewujudkan pengalaman dalam bentuk tulisan.
Untuk menciptakan kegiatan menulis kreatif puisi yang memungkinkan siswa dapat memotivasi dan menggerakkan potensi kreativitasnya, diperlukan suatu teknik pembelajaran yang mendukung. Teknik tersebut dapat membantu siswa mengarahkan dan membimbing pada proses menulis pulsi. Teknik yang dapat digunakan dalam pembelaj'aran menulis puisi bagi pemula yang mengalami kendala, seperti disebutkan di atas adalah TMPA.
TMPA merupakan suatu teknik yang dapat mendorong dan memotivasi siswa sebagai penulis pernula untuk dapat menulis sebuah puisi. Teknik ini juga dapat menciptakan suatu kondisi pembelajaran yang dapat merangsang siswa sehingga ia dapat menuliskan pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam bentuk puisi dengan pola berisi susunan kata‑kata yang seluruh huruf awal atau huruf akhir tiap barisnya merupakan sebuah kata atau nama diri. Penerapan TMPA dalam pelaksanaan pembelajaran menulis puisi dilakukan dengan beberapa tahap. Pada setiap tahap, guru akan membimbing dan mengarahkan siswa dalam menulis puisi. Tahap‑tahap tersebut adalah (1) penggalian ide, (2) penentuan ide, (3) penulisan, dan (4) penyajian.
Pada tahap penggalian ide, siswa dimotivasi dengan suatu permainan. Permainan yang dipilih adalah mengisi teka‑teki silang. Dengan permainan ini siswa dikenalkan dengan kemungkinan‑kemungkinan penggunaan kata sesuai huruf yang terdapat di dalam kata tersebut. Selain itu, kata yang dipilih pun dapat mewakill pengenalan terhadap lambang, simbol, dan kata kias. Setelah kegiatan ini, siswa diajak untuk berpikir dan mendeskripsikan diri sendiri. Siswa membuat daftar dengan kata‑kata atau frase yang jelas. Daftar tersebut berisi hal‑hal yang disukai dan tidak disukainya, impian dan rencana‑rencananya, karakter atau sifat‑sifatnya, ciri‑ciri fisiknya, benda‑benda atau hal‑hal yang berkesan, dan kehidupan keluarganya. Pada bagian ini siswa dimotivasi untuk mengungkapkan hal‑hal yang istemewa dari dini dan lingkungannya.
Pada tahap penentuan ide, siswa diajak untuk menemukan bagian‑bagian yang menank. Pada tahap ini siswa memperhatikan dan memilih bagian yang menarik dari daftar yang dibuat tentang dirinya. Siswa menentukan satu ide yang akan diwujudkannya dalam puisi. Dengan ditemukannya ide yang bersumber dari dirinya sendiri, maka siswa akan termotivasi untuk menulis puisi. Pada tahap ini juga siswa dilaksanakan kegiatan mengumpulkan kosakata yang mungkin akan digunakan dalam puisi akrostiknya. Kegiatan ini dilaksanakan setelah siswa dikenalkan dengan model-model puisi akrostik yang mungkin akan dijadikan bentuk puisi yang dipilihnya.
Pada tahap penulisan, siswa mulai menuliskan apa yang dirasakan dan dipikirannya ke dalam puisi dengan bantuan pola akrostik. Pola tersebut dapat berbentuk daftar nama diri, benda, atau keadaan. Dengan pola tersebut, siswa lebih mudah menyelesaikan puisinya. Pemilihan bentuk puisi akrostik dapat dijadikan bahan untuk diskusi sehingga siswa mengetahui alasan dia memilih bentuk puisi akrostik. Kegiatan selanjutnya adalah perevisian. Dengan bimbingan guru, siswa dapat mempertimbangkan, mengganti dan menambah kata‑kata dalam puisinya.
Pada tahap penyajian, siswa membacakan puisi yang telah mengalami
perbaikan di depan kelas. Kemudian, siswa memberi ilustrasi yang sesuai dengan isi puisinya. Puisi yang telah diberi ilustrasi, ditempelkan di mading kelas. Guru dapat memberikan komentar di bawah puisi siswa. Dengan menerapkan langkah‑langkah perencanaan, (2) melaksanakan tindakan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Dengan demikian, penelitian tindakan merupakan suatu proses yang memiliki siklus yang bersifat spiral, mulai dari perencanaan, pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan, penemuan fakta‑fakta untuk melakukan evaluasi atau memodifikasi perencanaan penelitian.
DAFTAR RUJUKAN
Achadiyati, I.P.S.R. 2000. Strategi Pembelajaran Menulis Puisi Formulasi di Kelas V SD Abepura Joyapura. Tesis tidak diterbitkan.
Ahmadi, Muksin. 1990. Strategi Belaiar Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra.
Ardiana, Leo lndra, dkk. 2002. Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Bahasa
Chang, Jason. 1999. Acrostic Poetry. (Http: H www.Emory.edu/English/classes/handbook/acrostic. html diakses I I September 2003).
Depdikbud. 1993. Garis‑Garis Besar Program Pengajaran Bahasa
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004.
Ellis, Arthur, dkk. 1989. Elementry language Arts Instruction.
Endraswara, Suwardl. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra. Yogyakarta:
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra.
Hasanuddin, W.S. 2002. Membaca dan Menilai, sajak,
Jabrohim, Chairil Anwar, dan Suminto A. Sayuti. 2001. Cara Menulis Kreatif.
Janeczko, Paul.B. 2000. Teaching 10 Fabulous Forms of Poetry.
Kazemek, Francis E. & Pat Rigg. 1996. Finriching Our Lives: Poetry Lessonsfor Adult Lileracy Zachers and Tutors.
Mulyati, Yeti. 2002. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesiadi kelas Tinggi.
Norton. 1987. 7hrough The Eyes of A Child An Introduction to Children's Literature.
Percy, Benard. 198 1. The Power of Reading Writing.
Pradopo, Rachinad Djoko.2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Rahanto, B. 1988. Melode Pengajaran Sastra.
Sarumpact, Rins K. Toha. 2002. Apresiasi Puisi Remaja.
Tashin. 2001. Guru Kita dan Pembelajaran Puisi. Majalah Horison, Edisi Maret 2001:18.
Tompkins, Gail E. dan Kenneth Hoskisson. 199 1. Language Art: Content Area Teaching Srafegies.
Troyka, Linn Quitman. 1987. Simon & Schusler Handbookfor Writers.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi.